Saat Pemerintah dan DPR Abaikan Suara Publik demi Pilkada
Pilkada Serentak 2020
Artikel by Yuni on 3 Tahun yang lalu


Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan penyelenggara
pemilu memutuskan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 tetap dilaksanakan pada
9 Desember 2020. Berbagai desakan publik agar pilkada ditunda dengan
pertimbangan kesehatan masyarakat diabaikan. Keputusan itu diambil saat rapat
kerja antara Komisi II DPR dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu di
Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (21/9/2020). Pemerintah dan Komisi II
beralasan, situasi pandemi Covid-19 saat ini masih terkendali.
Maka, Komisi II DPR bersama Menteri Dalam Negeri, Ketua KPU, Ketua Bawaslu,
Ketua DKPP menyepakati bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tetap
dilangsungkan pada tanggal 9 Desember 2020 dengan penegakan disiplin dan sanksi
hukum terhadap pelanggaran Protokol Kesehatan Covid-19, kata Ketua Komisi II
Ahmad Doli Kurnia saat membacakan hasil kesimpulan rapat.
Merujuk data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, terdapat penambahan 4.176 kasus
baru Covid-19 dalam 24 jam yang dicatat pada Senin kemarin. Penambahan ini
merupakan yang tertinggi sejak kasus pertama diumumkan pemerintah pada 2 Maret
lalu. Hingga kini, total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 248.852 orang
yang tersebar di 494 wilayah kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, 180.797
pasien telah dinyatakan sembuh, sedangkan 9.677 orang meninggal dunia. Di DKI
Jakarta, para petugas medis mengaku cukup kewalahan menangani para pasien
Covid-19. Kepala Bidang Koordinator Relawan Medis Satgas Penanganan Covid-19
Jossep William mengatakan, dalam sepekan terakhir para tenaga medis dan relawan
yang berada di lapangan memang cukup sibuk dalam menangani para pasien.
Bahkan, Satgas terpaksa memberlakukan sistem antrean agar pasien yang dibawa
ambulans bisa sampai ke Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran,
Jakarta
Di sisi lain, Doli meminta, agar pelaksanaan pilkada serentak menerapkan
protokol kesehatan secara ketat dan konsekuen. Para pelaku pelanggar protokol
kesehatan pencegahan Covid-19 harus mendapatkan sanksi tegas. Untuk itu, ia
meminta, agar KPU merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Perubahan
atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan
Dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19.
Revisi PKPU, sebut dia, harus mengatur secara spesifik soal larangan pertemuan
yang melibatkan massa dan mendorong kampanye secara daring. Selain itu,
mewajibkan penggunaan masker, hand sanitizer, sabun, dan alat pelindung diri
(APD) lain sebagai media kampanye. Hal senada pun turut disampaikan oleh
Mendagri Tito Karnavian. Menurut dia, aturan terperinci soal pelanggaran
penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 di dalam seluruh tahapan pilkada
harus diatur di dalam PKPU. Kami sarankan ada revisi PKPU mengenai untuk
menghindari potensi kerumunan sosial yang tidak menjaga jarak, ucap Tito.
Sebelumnya, sejumlah pihak mendesak agar pemerintah menunda penyelenggaraan
Pilkada Serentak 2020, mengingat kondisi pandemi yang dinilai kian
mengkhawatirkan. Salah satu permintaan itu datang dari Pengurus Pusat (PP)
Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PBNU), yang menilai bahwa
tahapan pilkada berpotensi memicu kerumunan massa, sehingga rentan terjadinya
penyebaran virus corona.
Istana sempat berdalih akan mempertimbangkan masukan dari PBNU dan Muhammadiyah
dalam mengambil sikap terkait penyelenggaraan pilkada. Meskipun pada akhirnya pilkada
tetap diselenggarakan.
Sementara itu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla berpendapat, tujuan
diselenggarakannya pilkada adalah untuk mencari pemimpin yang dapat membuat
kebijakan agar rakyat bisa hidup aman, adil, sejahtera, kesehatan terjaga, dan
mengurangi risiko kematian. "Namun, kalau dalam proses pemilihan pemimpin
itu sudah jelas-jelas justru bisa membuat rakyat sakit bahkan bisa buat
meninggal, buat apa kita mendesakkan menyelenggarakan pemilihan tersebut.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra
bahkan berencana untuk tidak memilih alias golput pada saat penyelenggaraan
pilkada mendatang. Sikap ini ditunjukkan Azyumardi sebagai bentuk solidaritas
kemanusiaan bagi masyarakat yang meninggal dunia akibat terinfeksi virus
corona. Selain itu, ia menambahkan, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi
seakan menunjukkan sikap tidak memiliki empati kepada para korban yang telah
meninggal dunia. Di samping, potensi timbulnya klaster baru di dalam setiap
tahapan pilkada.
Karena jika Pilkada tetap dilaksanakan 9 Desember, sementara pemerintah gagal
mengendalikan Covid-19, maka ini secara implisit tidak memiliki empati kepada
mereka yang telah jadi korban wabah dan bahkan membuka pintu lebar-lebar bagi
penyebaran Covid-19 lewat klaster pilkada.
Leave a Reply